Artikel

Senyum Mama

Hampir dua minggu setelah berpulang, pikiran dan kenangan-kenangan tentang mama, makin memenuhi ruang-ruang hati ini. Hm.. namanya juga mama, apalagi mama yang telah banyak berkorban dan memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Kenangan yang membahagiakan dan mengharukan, juga kenangan yang membuat hati seperti disayat sembilu.

Setelah menikah dan tinggal di Jakarta, setiap tahun saya dan istri juga anak-anak selalu datang berkunjung ke Semarang. Ini agenda wajib di luar kunjungan yang sesekali saya lakukan jika memang sangat diperlukan - biasanya di awal tahun yang baru. Acaranya di sana adalah makan, ngobrol, doa bersama dan jalan-jalan keliling kota. Beberapa tahun terakhir ketika kaki mama benar-benar sukar untuk dibuat menjejak ke lantai, saya selalu menyewa mobil supaya dapat mengajak mama dan papa jalan-jalan dengan leluasa, tanpa harus mencari atau naik taksi ke sana kemari.

Awal tahun 2007, seingat saya waktu itu sedang riuh dengan berita pesawat Adam Air yang hilang di laut, kami membawa mama dan papa menginap dua malam di Bandungan, Ambarawa. Bandungan adalah kawasan wisata yang cukup menjadi primadona pariwisata di Jawa Tengah. Di sanalah saya menyaksikan bagaimana papa dengan segala kesabarannya selalu menuntun mama yang sangat kesulitan dan kesakitan kakinya kalau dipakai berjalan.

Suatu pagi, di kesejukan udara dan keceriaan bunga-bunga nan indah, di halaman sebuah vila di kawasan wisata itu, dengan dua tangan saling berpegangan, papa harus berjalan mundur untuk menuntun mama berjalan maju. Hati saya begitu terharu menyaksikan pemandangan yang tak pernah saya bayangkan akan terjadi dan dilakukan oleh papa mama saya, justru ketika usia mereka semakin uzur.

Papa yang dengan segenap kesabaran dan ketulusannya mengasihi mama dengan hati-hati menuntun sambil berjalan mundur. Di saat mereka bergandengan tangan itulah, muncul canda dan tawa di antara mereka berdua yang membuat kami semua ikut-ikutan tertawa riuh menertawakan mereka. Papa dan mama kelihatan mesra sekali. Sementara saya sendiri yang menyaksikan adegan itu sebenarnya untuk kesekian kalinya merasa terharu, sedih dan senang sekaligus.

Terharu, karena sesuatu yang mengikat papa dan mama saat itu benar-benar "hanyalah" komitmen mereka untuk saling mengasihi apa pun yang terjadi. Sesuai dengan janji nikah mereka puluhan tahun yang lalu. Hanya itu saja! Sebab tak ada lagi tersisa paras papa yang ganteng atau paras mama yang cantik. Tak ada harta simpanan harta benda mereka yang bisa menjadi ikatan untuk tetap hidup bersama. Hanya janji setia mereka di hadapan Bapa dan orang lain. Tidak ada jaminan apa pun dari anak-anak atau siapa pun untuk memelihara mereka di hari tua. Tak secuilpun persediaan untuk meniti hari-hari di depan mereka kecuali uang pensiun mama yang tidak seberapa. Sungguh, tak ada apa pun yang dapat dijadikan andalan untuk mengikat mereka untuk tetap bersama sebagai suami istri, kecuali, sekali lagi, ikrar mereka bersama untuk saling setia sampai maut memisahkan. Amat mengharukan, karena ternyata di dunia yang makin tak peduli dengan komitmen kesetiaan, saya menyaksikan papa mama sedang memeragakannya di depan mata anak-anak dan cucu-cucunya. Haru, bangga, trenyuh dan sukacita menyerbu kalbu bersama-sama.

Adegan-adegan seperti itu yang menjadi keseharian mereka selama bertahun-tahun kemudian, telah menjadi catatan yang sangat berharga buat saya. Saya mencatat dengan bangga, itulah warisan mereka buat saya dan adik-adik. Buat mantu-mantu dan cucu-cucu mereka. Sebuah warisan yang sangat berharga, komitmen mereka untuk saling mengasihi sampai mati adalah wujud dari iman mereka. Iman kepada Kristus, dan itulah warisan mereka buat kami. Demonstrasi iman yang di dasari oleh keyakinan mereka kepada perkataan Allah sendiri, bahwa mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Dan apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Mereka demontrasi tanpa banyak kata-kata, sebab firman itu telah tertulis di loh hati mereka dan digemakan melalui perbuatan mereka sebagai suami istri.

Catatan lainnya adalah, papa tidak pernah mengeluh dalam perkara merawati mama selama bertahun-tahun dan mama tidak pernah mengeluh karena sakitnya. Jika saya mengatakan demikian bukan berarti tidak ada keada-an-keadaan di mana papa dan mama merasakan betapa cukup berat menghadapi tantangan sakit mama di hari tuanya. Seingat saya papa hanya pernah menge-luhkan soal mama yang kadang kurang mau mendisiplin diri dalam soal makan dan mama terkadang mengeluh karena porsi makannya tak sesuai keinginannya. Di luar itu mereka justru lebih banyak memikirkan anak-anak mereka.



Catatan selanjutnya adalah keadaan mereka tidak menyurutkan munculnya canda tawa yang kadang amat riuh, yang dalam pengamatan saya lebih disebabkan oleh kesadaran dalam diri dan iman mereka kepada Tuhan Yesus, bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar saja dan menderita adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Tanpa mereka berkata-kata saya merasakan mereka sangat-sangat memahami hal ini. Papa dalam hatinya sangat menerima sakitnya mama tanpa berputus asa dalam mengupayakan kesembuhan mama melalui berbagai macam cara dan tentu saja melalui doa yang tiada berkeputusan. Sebaliknya mama dengan segala keberadaannya sebagai manusia juga telah belajar menerima keadaan ini tanpa bersungut-sungut.

Kesan yang ditangkap dan diingat serta disaksikan oleh pekerja gereja yang sering datang mendoakan mama adalah senyum mama. Setiap kali mereka datang, mereka melihat dan menerima sambutan mama yang selalu disertai senyum. Ya, senyum khas di wajahnya yang masih menyisakan bekas kecantikan di masa mudanya itu sering menghias bibirnya. Senyum itu menjadi sangat berarti dan jadi berkat bagi orang lain sebab dilepaskan dalam keadaan di mana situasi dan kondisi sangat sering di luar harapan mama. Saya yakin senyum itu adalah salah satu anugerah Tuhan yang membuat mama bertahan sampai saat itu. Dan karena itu, jujur saja, saya dan istri sangat merindukan untuk membuat mama selalu tersenyum. Dengan berbagai macam cara yang saya bisa, di tengah segala keterbatasan waktu dan segala sesuatunya untuk dapat mendampingi dan menolong dia. Sebab senyum mama bukan saja telah menyemangati hidupnya sendiri, melainkan juga menyemangati hati saya dan istri.

Itulah juga yang mendorong saya dan istri menawarkan kepada mama untuk pergi ke Jakarta dan kalau bisa biar cuma sekali naik pesawat terbang. Berkali-kali mama menolak dan sambil ketawa mengatakan takut pipis nanti di pesawat. Maksudnya pipis karena ketakutan.

Namun saat cucu pertamanya hendak menikah dia dengan semangat menerima tawaran untuk naik pesawat terbang ke Jakarta. Maka terbanglah mama bersama papa dan adik saya Ronald, ke Jakarta. Saya dan istri tidak menyaksikan bagaimana mama naik pesawat untuk pertama kalinya dalam kondisi seperti saat itu, tetapi ketika mama dengan gayanya yang khas menceritakan pengalamannya naik pesawat, kami semua tertawa tergelak-gelak. Hati saya dan istri sukacita sekali mendengarnya. Bahkan ketika kami tawari untuk pulang juga dengan naik pesawat terbang lagi ia langsung setuju dan tersenyum-senyum senang. Apa komentarnya ketika sudah sampai kembali di Semarang? "Wah..enak ya naik pesawat terbang..mama mau lagi." Saya tertawa dan berharap memang dia akan ke Jakarta lagi dengan naik pesawat terbang.

Kedalaman makna senyum mama bahkan tertawanya saya tangkap juga sebagai bagian dari menyenyumi dan mentertawakan keadaan dirinya sendiri. Menyenyumi sakitnya, ketergantungannya pada orang lain untuk meneruskan hari-hari yang Tuhan masih anugerahkan kepadanya dan banyaknya harapan akan kebaikan dari semua anak, anak mantu, cucu-cucu dan cicitnya. Tak banyak orang bisa menertawakan dirinya sendiri yang sakit tanpa menjadi sakit hati sama orang lain maupun Tuhan.

Senyum mama mengajarkan, bahwa seringkali kita tidak dapat menguasai apalagi mengubah situasi maupun orang di sekitar kita, namun kita tetap bisa menguasai diri kita sendiri. Badai yang mengamuk di sekeliling kita tak sanggup kita untuk meredakannya, tetapi kita masih bisa memerintah diri kita sendiri dan menguasainya untuk tetap tenang dan tersenyum. Dari sini saya menilai senyum mama lebih dari sekedar senyum karena ada sesuatu yang menyenangkan hatinya. Senyumnya adalah kesediaan untuk menerima keadaan dirinya walau tak sesuai dengan harapannya, sekaligus tanpa berhenti berharap kepada sang Pencipta untuk menyatakan mujizatNya. Mujizat kesembuhan atau apa pun yang dibutuhkannya.

Kini senyum itu telah pergi bersama iman yang membawanya kepada Kristus. Dan sekali pun tak banyak orang memperhitungkan atau menilai senyum mama, namun sekarang senyumnya menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi saya.


(SiKY, 21 November 2013)

Artikel Terkait



Kembali ke atas

0 Komentar :

Komentar Saudara...


Nama :
Email :
Website :
Komentar :
 
 (Masukkan 6 kode diatas)


 



Pokok Doa

- Terjadinya pertobatan dari bangsa kita dimulai dari Gereja-Nya.

- Agar Jemaat dikuatkan untuk mengambil kesempatan memberitakan nama Yesus dengan cara apapun yang Tuhan berikan di tengah keadaan yang sukar ini.

- Keselamatan dan perlindungan Tuhan atas orang-orang percaya

- Pemerintah Pusat dan Daerah, Dokter dan para medis yang sedang berjuang menangani pasien akibat Virus Corona

semua agenda

Agenda

Info

  • Parents Meeting, Minggu 04 Juni 2023 pukul 12.00 di rumah ibadah

  • Doa Semalam Ceria, jumat malam 2 Juni2023 pukul 22.00 - 04.00.

  • Belajar Bersama (KRISTOLOGI) kamis 25 Mei 2023 jam 19.30 Via ZOOM. hubungi admin untuk mendapatkan link.

  • Teens Fellowship, Jumat 26 Mei 2023 jam 16.00 dirumah ibadah

Polling

Apakah Saudara/i sudah belajar memulai membangun ibadah bersama di dalam keluarga?
Sudah
Belum

Lihat

Kontak Kami

GPdI Jemaat Ujung Menteng
Jalan Kelurahan Ujung Menteng no.18 RT015/RW001, Cakung,
Jakarta timur. Indonesia.

Telp/Fax : (021) 4611850

E-mail :
admin@gpdiujungmenteng.com

Statistik Pengunjung

257719


Pengunjung hari ini : 29
Total pengunjung : 111578
Hits hari ini : 68
Total Hits : 257719
Pengunjung Online: 1