P + E = GT
Kita, manusia, adalah mahluk yang senang memperbaiki diri. Dan selalu ada bidang kehidupan kita yang memang perlu diperbaiki dari waktu ke waktu. Coba perhatikan delapan bidang kehidupan berikut ini :
- Karier dan bisnis
- Keuangan keluarga
- Keluarga dan kerabat
- Kompetensi dan keterampilan
- Kesenangan atau hobi
- Kesehatan tubuh
- Kepedulian sosial
- Kerohanian
Bidang kehidupan manakah yang paling banyak kita beri waktu dan kita perhatikan dalam, katakanlah, 3 tahun terakhir? Berikanlah tanda centang di depannya. Lalu, bidang kehidupan manakah yang paling sering kita abaikan dan tidak kita perhatikan karena kesibukan melakukan hal-hal lainnya? Berikan juga tanda centang di depannya. Ketika dua pertanyaan ini saya ajukan kepada lebih dari 240 peserta program pelatihan High Impact Supervisory di sebuah bank terkemuka, sepanjang semester pertama tahun ini, maka nampaklah sebuah pola.
Peserta yang terdiri dari 10 angkatan (kelas) itu umumnya mengaku memberikan waktu-waktu terbaik mereka untuk memikirkan dan mengembangkan karier-bisnis, kompetensi-keterampilan, keluarga-kerabat, dan keuangan keluarga. Sementara soal-soal kerohanian, kesehatan tubuh, kepedulian sosial, dan kesenangan-hobi adalah bidang-bidang kehidupan yang paling sering diabaikan, sampai kemudian (kecuali) muncul persoalan yang memaksa mereka memberikan perhatian atas hal itu. Kesehatan, misalnya, sering dianggap taken for granted sampai mereka diingatkan oleh dokter berdasarkan hasil general check-up. Kolesterol tinggi, gula dalam darah, tekanan darah tinggi, dan asam urat adalah beberapa keluhan yang kemudian memaksa mereka untuk lebih memperhatikan makanan, menambah waktu berolah raga,menenangkan pikiran dengan melakukan hobi-kesenangan. Ada juga yang bermasalah dalam hubungan keluarga. Sebagai pasangan yang sama-sama bekerja, berangkat pagi dan pulang malam, soal pengasuhan anak balita menjadi tantangan yang tidak mudah di atasi. Jika istri tidak bekerja, penghasilan suami tidak mencukupi. Belum lagi kenyataan bahwa untuk sebagian pasangan, karier dan penghasilan istri lebih tinggi ketimbang suami. Dilematis, bukan? Yang menarik adalah soal keuangan keluarga. Meski sebagian besar peserta mengaku memberikan perhatian dan memikirkan hal ini dengan sungguh-sungguh, namun kenyataannya tidak banyak kemajuan yang mereka alami sepanjang 3 tahun terakhir.
Dengan menggunakan daftar periksa kesehatan finansial yang sederhana, mereka langsung disadarkan bahwa permasalahannya adalah dalam mengelola arus uang (cash-flow) keluarga. Pilihan gaya hidup yang konsumtif telah menyedot penghasilan mereka tanpa sempat disadari. Penggunaan kartu kredit yang serampangan, menimbulkan sejumlah persoalan rumit di belakang hari.
Kita, manusia, adalah mahluk yang senang memperbaiki diri. Dalam proses perbaikan itu seharusnya kita belajar dari pengalaman. Jika pengalaman menunjukkan bahwa kita perlu memberi waktu ekstra untuk meningkatkan kesehatan, maka berilah waktu untuk itu. Jika pengalaman menunjukkan bahwa gaya hidup konsumtif telah menjebak kita dalam tagihan tanpa henti, maka segeralah mengurangi gaya agar kelak tetap bisa hidup. Jika pengalaman menunjukkan bahwa hubungan kita dengan pasangan hidup makin tidak harmonis, maka berilah waktu untuk memperbaikinya dengan mengguna-kan sistem skala prioritas hidup; bahkan jangan sungkan mencari pertolongan profesional di bidang tersebut.
Pengalaman adalah guru terbaik. Begitu sering dikatakan orang. Benarkah? Survei sederhana yang saya paparkan di atas menunjukkan bahwa pernyataan "pengalaman adalah guru terbaik" merupakan pernyataan yang tidak lengkap. Pengalaman memang membuat orang menjadi paham dan mengerti apa yang dilakukannya memiliki konsekuensi yang harus dihadapinya di kemudian hari. Pengalaman memang memberikan pelajaran berharga yang tidak bisa digantikan oleh informasi dari buku-buku teks yang bagaimana pun baiknya. Pengalaman juga tidak bisa digantikan oleh ceramah-ceramah atau kotbah dari para pembicara publik yang paling cerdas sekalipun.Tetapi, orang yang pernah mengalami kesulitan dalam soal keuangan, belum tentu akan beres menata keuangannya di masa depan. Orang yang berpengalaman dalam kegagalan bisnis, belum tentu akan menjadi pebisnis yang handal di kemudian hari. Orang yang mengalami sakit penyakit, belum tentu akan menjadi lebih sehat di waktu mendatang. Sebab masalahnya bukan pada soal "pengalaman" itu sendiri, melainkan apakah pengalaman itu "dievaluasi" dengan tepat. Kita, manusia, adalah mahluk yang senang memperbaiki diri. Untuk perbaikan ke depan, kita bisa mengubah pernyataan "pengalaman adalah guru terbaik" menjadi lebih baik, lebih lengkap, yakni "pengalaman yang dievaluasi adalah guru terbaik".
Pengalaman yang tidak dievaluasi, tidak diperas saripatinya, tidak diambil hikmahnya, tidak mengajarkan apa-apa kepada kita. Jadi, jika sukses dan bahagia merupakan tujuan yang ingin dikejar, maka ingatlah rumus P + E = GT (baca: Pengalaman + Evaluasi = Guru Terbaik).
By ANDRIAS HAREFA
Artikel Terkait
- Tidak naik kelas bukan bodoh
- Taburkan saja
- Kristus yang ber - atau yang ber + ?
- TETHELESTHAI!
- Tuhan tahu caranya