Sakit Juga Anugerah
Jangan buru-buru berprasangka bahwa saya sedang berteologi tentang sakit adalah kehendak Tuhan. Jangan juga berburuk sangka bahwa saya penganjur agar setiap orang tidak usah berusaha untuk hidup sehat. Jangan pula mengira saya seorang yang pesimis atau tidak beriman bahwa kesehatan adalah bagian dari janji Tuhan bagi setiap orang percaya. Lebih jelek lagi, berpikiran bahwa saya seorang yang tidak percaya akan mujizat kesembuhan, jika saya mengatakan bahwa sakit juga sebuah anugerah!
Siapa yang mau sakit atau bercita-cita ingin sakit? He..he.. orang yang otaknya sudah "jam tujuh lewat lima" kali ya..? Jangankan ingin sakit, semua orang berharap dan berupaya keras untuk selalu sehat, bahkan sampai-sampai ada yang mengajarkan orang percaya tidak boleh sakit. Mereka berasumsi bahwa jika kita hidup menurut pola Alkitab khususnya dalam hal makan, maka sesungguhnya sakit tidak akan pernah menghampiri. Ada benarnya juga dan tentu sah-sah saja orang mengungkapkan pendapatnya. Kalau perlu tidak usah mati sampai ketemu Tuhan Yesus nanti di awan-awan yang permai, waktu Ia datang yang kedua kali. Apa pun dasar teologinya, semua ingin sehat!
Saya percaya kesehatan adalah berkat dan bagian dari janji Tuhan bagi orang percaya dan mujizat kesembuhan adalah perkara ajaib yang Tuhan pakai untuk menyatakan kemuliaanNya. Jadi mengapa saya mengatakan bahwa sakit juga adalah sebuah anugerah?
Siapakah di antara pembaca yang tidak pernah sakit selama hidupnya? Entah sekali atau dua kali atau malah lebih dari sepuluh kali sakit yang cukup lama? Saya mau bertanya apakah setelah mengalami kesembuh-an Saudara menangkap suatu hikmah atau pelajaran berharga dari situasi dan keadaan yang dihadapi waktu sakit?
Sejak tahun 2002 secara rutin saya memeriksakan kesehatan saya kepada seorang dokter anak Tuhan, karena gejala fatty lever (pelemakan pada lever). Selama sepuluh tahun lebih saya dirawati, entah berapa besar biaya yang harus saya keluarkan kalau saja saya harus membayar biaya dokter. Hikmahnya adalah, betapa tak ada seorang pun bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Ini mengajar saya untuk terus belajar rendah hati. Namun hikmah terpentingnya adalah, betapa berharganya sehat itu! Kita perlu menjaga dan memeliharanya sedemikian rupa.
Namun terlepas dari semua itu, sekalipun kita menjaga kesehatan sedemikian rupa, yang namanya sakit penyakit terkadang datang dalam hidup seseorang tanpa seseorang itu sanggup membuat pilihan lagi, siap atau tidak siap, menerima atau menolak. Tahu-tahu tanpa gejala awal yang dapat diperkirakan sebelumnya, sakit yang tak pernah terbayangkan sebelumnya harus diterima sebagai kenyataan. Baik terjadi pada diri sendiri, anak, orang tua, kakak atau adik atau siapapun yang kita kasihi.
Patricia, 16 tahun, seorang gadis cantik, pelajar SMA di kota Surabaya, awalnya hanya menderita demam dan sakit kepala. Tadinya disangka terkena deman berdarah. Namun setelah beberapa waktu lamanya sakit kepalanya bertambah parah, dilakukanlah tindakan MRI. Dari tindakan ini terlacak bahwa ada tumor di otaknya dan harus segera dioperasi. Saya dan istri diajak oleh pastor Stefanus Wijaya, mengunjungi dan mendoakannya di Mount Alvernia Hospital, Singapore, setelah ia men-jalani operasi bedah kepala selama 10 jam untuk mengangkat tumor tersebut.
Sebelumnya saya terlebih dahulu bertemu dengan bapak Hendra Gunawan dan istri, yang selama hampir 4 tahun terakhir harus menemani putrinya, Jessica, 18 tahun berobat di Sinagpura. Selama 6 tahun sudah anaknya tersebut harus berjuang melawan tumor di batang otaknya. Kepala anak gadis yang juga cantik ini telah menjalani operasi sebanyak delapan kali dan sempat koma selama empat bulan. Kedua orang tuanya mengorbankan segala sesuatunya agar kesembuhan paripurna menjadi bagian dari akhir perjuangan ini. Bahkan untuk itu mereka harus meninggalkan seorang anak-anak laki, kakak Jessica, dan rela menyerahkan pelayanan penggembalaan mereka di Jakarta kepada orang lain demi kesembuhan putri tercinta.
Vincent, 3 tahun, terdeteksi menderita leukemia dan harus menjalani kemoterapi selama 4 bulan penuh mulai Oktober 2012 sampai Februari 2013, di National University Hospital. Sesuatu yang membuat kedua orang tua juga harus meninggal-kan segala-galanya termasuk pekerjaan dan keluarga besarnya di Surabaya untuk mendampingi anaknya berburu kesembuhan di negeri orang.
Ada juga Valencia, 10 tahun, yang baru saja menyelesaikan proses kemoterapinya selama 6 bulan dan akhir Maret ini berencana pulang ke Medan bersama ibunya. Ada Jordanata yang terserang penyakit aneh (sejenis leukemia juga), karena sel darah yang berfungsi melindungi dirinya dari penyakit, berbalik menyerang dirinya sendiri. Dia telah menjalani trans-plantasi sumsum tulang belakang, suatu pengalaman yang sangat traumatis dalam hidupnya, karena proses tranplantasi itu mengandung resiko yang begitu tinggi, salah satunya ia harus dalam kondisi steril. Kalau sampai abai, virus influenza biasa saja dapat mengakhiri hidupnya. Selama hampir satu setengah tahun biaya berobatnya menghabiskan biaya milyaran rupiah. Untuk pasien lainnya durasinya lebih lama, bisa dibayangkan berapa besarnya!
Juga Gerry, 16 tahun, dari Bandung, dan Iyan, 17 tahun, asal Manado, anak-anak remaja berpotensi yang untuk sementara waktu harus menghentikan aktifitas sekolah dan gaya kehidupan remaja lainnya selama hampir dua tahun untuk menjalani perawatan karena sakit leukemia yang dideritanya. Pelajaran apakah yang dapat ditarik dari semua kenyataan ini? Tak mudah memang, tetapi Alkitab adalah petunjuk yang sempurna.
Yang pertama, pandanglah orang yang sakit dan penyakit yang dideritanya sepeti Tuhan Yesus memandang.
9:1 Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. 9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?" 9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. ~ Yoh.9:1-3 ~
Camkanlah, Yesus tidak mempersoalkan jenis penyakit dan sejak kapan seseorang sakit. Ia juga dengan tegas menepis anggapan bahwa penyakit itu adalah akibat dosa si sakit atau orang tua si sakit. Sebalik-nya Ia dengan lugas mengatakan, "... tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam diri si sakit."
Sudut pandang Tuhan terhadap orang yang menderita sakit adalah "KARENA PEKERJAAN-PEKERJAAN ALLAH HARUS DINYATAKAN DI DALAM DIRI SI PENDERITA! Perhatikan juga, bukan hanya satu pekerjaan tetapi banyak pekerjaan Allah, dan memang itulah kenyataannya. Pekerjaan pertama yang dinyatakan kepada si sakit adalah Ia menyembuhkannya. Selanjutnya orang itu menjadi percaya bahwa Kristuslah Mesias dan ia diberi kesempatan menyaksikan imannya kepada banyak orang. Inilah setidaknya 3 jenis pekerjaan Allah yang dinyatakan dalam hidupnya. Kalau mau dicari dan dicatat pasti akan lebih banyak lagi.
Yang kedua, Tuhan meluaskan keadaan sakit seseorang sehingga terjadi kematian, tetapi Ia justru merancangnya agar ANAK ALLAH DIPERMULIAKAN MELALUI SAKIT PENYAKIT tersebut!
Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan. ~ Yoh.11:4 ~
Penyakit telah merenggut nyawa Lazarus, tetapi itulah kesempatan bagi Tuhan untuk membangkitkannya sehingga Anak Allah dipermuliakan. Selain anugerah besar dialami oleh Lazarus, melalui kebangkitannya banyak orang menjadi percaya. Sakit adalah anugerah karena melaluinya kita beroleh kesempatan untuk menerima pertolongan dan kemuliaan Allah dinyatakan!
Pertanyaannya, kalau sakit tetapi tidak sembuh dan harus menerima kematian, bagaimana? Apakah dalam hal ini Allah tetap dapat dimuliakan? Dengan tegas saya kata-kan: "Ya!" Namun untuk melihat kemuliaan Allah dinyatakan melalui keadaan seperti itu dibutuhkan lebih dari sekedar pandangan mata jasmani dan keinginan-keinginan diri sendiri yang terkadang bertentangan dengan maksud Tuhan.
Sebagai pembanding, hampir seluruhnya dari dua belas murid Tuhan ? kecuali Yohanes ? mati karena dianiaya. Tuhan meluaskan karyaNya melalui hidup mereka dengan tidak menolong atau melepaskan mereka dari kematian fisik, namun justru karena hal itu kekaguman terhadap kasih dan kuasa Allah semakin dahsyat. Betapa tidak, banyak orang yang rela mati dan menjalaninya dengan sukacita sambil memuliakan Allah sekali pun leher terpisah dari tubuhnya. Mereka mati karena mempertahankan imannya, dan tidak bisa tidak nama Tuhan jauh lebih dipermuliakan!
Demikian juga dengan mereka yang sakit dan tidak disembuhkan namun tetap beriman dan selalu mengucap syukur sesungguhnya di dalam diri mereka Allah sedang menyatakan anugerahNya yang tak terkira-kira.
Ibu Yuyun, orang tua Gerry yang sedang menjalani terapi selama hampir dua tahun mengatakan kepada saya, hikmah yang dia terima setelah Tuhan mengijinkan ia mengalami pen-deritaan karena anaknya sakit. Dengan rendah hati ia mengatakan, "Karakter saya diubahkan pak. Saya dulu orangnya sangat pemarah dan mudah merasa terganggu dengan kelemahan orang lain. Saya bisa turun dari mobil dan memaki-maki orang dengan sumpah serapah jika ada orang yang saya anggap mengganggu saya di jalan raya. Saya sombong pak, tetapi sekarang saya tidak bisa lagi berbuat seperti itu. Tuhan mengubahkan saya."
Ibu Anti, orang tua dari Jordanata mengatakan, "Dulu saya egois sekali dan merasa tidak butuh orang lain. Setelah anak saya sakit saya pun masih egois sehingga kalau berdoa saya hanya mendoakan anak saya dan keluarga saya. Tetapi sekarang dengan bimbingan seorang hamba Tuhan saya justru dapat melihat betapa banyak orang lain seperti saya yang mem-butuhkan bantuan doa bahkan lebih dari itu penghiburan dan kekuatan. Itu sebabnya sekarang saya belajar mengunjungi dan melayani orang sakit sekalipun anak saya sendiri sakit!"
Sedangkan dari mereka yang sakit, Jordanata, yang masih 16 tahun, tapi berpikiran sangat dewasa mengatakan bahwa hidup tidak bergantung dari banyaknya uang yang dimiliki tetapi dari Tuhan semata-mata. Ia mengatakan demikian sebab sesungguhnya keluarganya sendiri tidak mampu membiayai semua biaya pengobatan yang milyaran itu tetapi ia menyaksikan bagaimana selalu saja ada pertolongan Tuhan sehingga biaya yang dibutuhkan tercukupi.
Bapak Hendra Gunawan yang saya tanyakan hal apa yang paling menguatkan dirinya menghadapi saat-saat yang sukar karena sakit anaknya itu hanya menjawab pendek saja "Salib Kristuslah yang menguatkan saya!" Jika kita merasakan salib Kristus sebagai sumber kekuatan dan penghiburan kita, pastilah bukan pada saat kita sehat dan senang tetapi saat menghadapi kesukaran dan penderitaan.
Sungguh sakit adalah anugerah ketika mereka yang mengalaminya disembuhkan. Tetapi sakit tetaplah anugerah bagi mereka yang tidak sembuh tetapi tetap percaya dan mampu bersyukur, bahkan dapat menghibur dan menguatkan orang lain yang sakit. Salib Kristuslah yang mengkonversi semua kesusahan dan kesulitan itu menjadi berkah bagi yang mengalami. Haleluya!
(SiKY, 6 Maret 2013)